Part 8 - Kenyataan

Dua hari sebelum tunangan resmi Bayu dan Kirana, Naga kembali menghubungi Kirana. Tapi Kirana memilih mengabaikan telepon dari Naga. Padahal sebenarnya jauh di lubuk hati Kirana, dia mulai ragu dengan Bayu. Ringtone smartphone Kirana kembali terdengar, dengan malas Kirana menilik nama di layar tersebut. Melihat nama Bayu, instead Naga, Kirana akhirnya menggeser tombol hijau.
“Kirana, kamu di rumah kan? Aku jemput ya, kita keluar. Aku mau ngomong.” Begitu saja, kemudian hanya nada telepon dimatikan yang didengar Kirana.
Tidak lama setelah itu, suara motor Bayu terdengar dari luar pagar. Kirana dengan sigap segera menemui Bayu dan mereka berkendara menuju Kolase, salah satu café di daerah stasiun kota Bandung. Kirana merasa dejavu, hatinya kalut karena merasa hari ini bukan hari yang baik untuk dia. Setelah Bayu dan Kirana mendapatkan makanan dan minuman pesanan mereka, Bayu berdeham tanda dia akan mulai berbicara.
“Kirana….” Panggil Bayu. Kirana kemudian memandangi Bayu lamat-lamat. Apalagi Bay? Kamu mau mengulangi yang dulu lagi? Kirana dalam hati.
“Aku minta maaf…” masih suara Bayu. Ini bukan awal kata yang baik dalam suatu pembicaraan, Kirana mulai cemas.
Well, setelah wisuda aku harus ke Jakarta. Dan ternyata, setelah kemarin aku ngobrol sama Mama Papaku, mereka ternyata sudah ada calon untuk aku.” Kata Bayu cepat. Kirana tercengang. Kemudian sunyi melingkupi mereka berdua. Sepertiga menit kemudian, Kirana memilih angkat bicara.
“Maksud kamu apa Bay? Kamu waktu itu ngelamar aku, kamu belum ngomong apa-apa ke orang tua kamu? Kamu kira tunangan, pernikahan, dan aku itu lelucon buat kamu?” Kirana marah, tapi sedih menguasai hatinya sehingga suaranya justru terdengar bergetar menahan tangis.
“Aku tau aku salah Ran. Aku kira mereka bakal setuju aja sama pilihan anaknya, tapi ternyata nggak.” Bayu menunduk.
“Siapa Bay? Siapa calon yang dipilih orang tua kamu?” Tanya Kirana masih dengan suara yang bergetar.
“Ran….”
“Siapa Bay?”
“Mantan aku, Ina. Yang tempo hari….” Kirana segera memberi gerakan tangan agar Bayu berhenti berbicara. “Cukup Bay, sekarang kamu pergi. Nggak usah jelasin kemama papa aku. Nanti biar aku…” Bug! Tiba-tiba pukulan keras mengenai pipi Bayu. Kirana yang kaget langsung mencari pemilik tangan yang ternyata sangat Kirana kenal. Naga.
“Pergi lo, brengsek!” marah Naga. Naga kembali mengepalkan tangannya untuk memberikan pukulan kedua. Tapi sebelum pukulan itu sampai di pipi Bayu lagi, Kirana berhasil melarang Naga. Bayu terlihat masih shock, darah segar mengalir dari hidungnya. Tapi Bayu tidak punya niat untuk membalas, dia tahu benar itu memang kesalahan dia.
“Mending lo pergi sekarang, Kirana udah males liat muka lo.” Suara Naga mulai melemah, tapi masih terdengar marah. Kirana hanya diam, Kirana memang sudah malas melihat muka Bayu sekarang. Bayu sambil memegangi pipinya yang membiru akhirnya memilih pergi. Sama seperti dulu, tanpa suara Bayu mengucap maaf pada Kirana dan akhirnya menghilang dari pandangan Kirana dan Naga.
Kirana benar-benar dejavu. Sekelebat memori masa lalu di mana Bayu pertama meninggalkannya terlintas di otaknya. Air mata mulai jatuh dan membasahi pipi Kirana. Namun, kali ini Naga tidak lagi memberikan sapu tangan biru miliknya. Naga hanya diam sambil mengelus pelan tangan Kirana. Bukan berhenti, Kirana semakin tersedu. Dua hari lagi seharusnya dia tunangan dengan Bayu, bahkan semuanya sudah dipersiapkan. Semua keluarga besar sudah diundang, tapi ternyata hidup tidak lagi berpihak pada Kirana. Naga masih diam, Naga tahu pasti ini bukanlah waktu untuk berkata-kata. Dia hanya perlu di sini menemani Kirana dalam tangisannya.
Sekarang Naga dan Kirana sudah ada di depan rumah Dewi. Kirana bingung apa yang harus dikatakannya pada kedua orang tuanya, Naga juga bingung harus bagaimana menghadapi Kirana.
“Ga, makasih ya. Gue turun dulu.” Kirana membuka seatbeltnya dan kemudian memegang handle pintu mobil Naga. Naga langsung menarik Kirana dalam pelukannya. Naga bingung kenapa dia melakukan ini, tapi dia pikir dia harus melakukan ini.
“Na, lo harus tau apapun yang terjadi gue ada di sini. Memang beberapa bulan ini hubungan kita nggak baik, tapi you still can count on me.” Naga berbicara pelan. Di balik punggungnya, Kirana kembali menitikkan air mata. Meski Kirana tidak tahu bagaimana bisa Naga tiba-tiba ada di Kolase tadi, tapi Kirana sangat bersyukur ada Naga di sana. Bahkan tanpa Naga berkata demikian, Kirana sudah sangat yakin bahwa Naga hanya satu-satunya orang yang bisa dia harapkan. Dengan suara serak, Kirana kemudian angkat bicara.
“Makasih Ga, tapi untuk ngomong ke orang tua gue, gue harus hadapin sendiri.” Kemudian Kirana melepas pelukan Naga. “Maaf, bahu lo jadi basah.” Kata Kirana.
It’s ok. Yaudah lo masuk ya. Besok gue ke sini lagi.” Dan Kirana benar-benar turun dari mobil meninggalkan Naga. Naga menatap punggung Kirana yang akhirnya menghilang di balik pagar hitam tersebut. Na, you deserve better for serious, Naga dalam hati dan Naga segera menekan gas dalam-dalam meninggalkan rumah tersebut.
Mata Asna, Ernan, Dewi, dan Galih terlihat khawatir saat menemukan Kirana yang baru saja memasuki ruang tamu. Dewi langsung menghambur ke pelukan adiknya, memeluk Kirana dengan hangat tanpa bicara. Kirana yang mulai mengerti bahwa keluarganya sudah tahu fakta tentang Bayu dan dia mulai menitikkan air mata kembali di pundak Dewi. Sambil mengusap lembut rambut Kirana, Dewi mengucap pelan.
“Kirana, apapun yang terjadi, kakak, mama, papa, dan kak Galih masih ada di sini untuk kamu.” Kirana tersenyum, tapi masih tidak bisa menghentikan tangisnya. Kemudian kak Dewi melepaskan pelukannya, menggiring Kirana menuju tempat duduk di sebelah mama. Asna mengusap lembut tangan anaknya, berusaha menahan air mata untuk menguatkan anaknya yang saat ini mungkin sangat hancur. Papa yang daritadi hanya melihat pemandangan sedih di depannya angkat bicara.
“Tadi dia sudah ke sini. Sudah bilang semuanya sama papa juga mama kamu. Papa sebenarnya nggak terima dengan apa yang sudah dia lakuin ke kamu Ran. Tapi Papa menghormati kamu, biarlah masalah ini kalian yang selesaikan.” Papa menghela napas, nampaknya berbicara beberapa kalimat itu sangat berat bagi Ernan, “Jadi, bagaimana? Kamu juga sudah menyelesaikan dengan tuntas masalah ini?”
“Setidaknya dia nggak pengecut ya Pa, dia berani bilang ke mama sama papa. Sudah selesai, semuanya sudah selesai buat Ran, Pa.” jawab Kirana dengan suara serak. Papa tersenyum miris.
“Jadikan apa yang sudah terjadi antara kamu dan Bayu sebagai pelajaran. Setidaknya ada yang bisa kita tetap syukuri, kamu tidak sampai menikah dengan dia.” Papa menambahi. Kirana hanya mengangguk menanggapi kata-kata sang Papa. Itu memang hal yang sangat ia syukuri saat dalam perjalanan pulang tadi. Kirana pasti tidak akan sanggup jika dia baru menemukan sisi jahat Bayu saat sudah menikah.
“Yaudah, kamu istirahat ya sayang. Kamu pasti capek hari ini.” Kata Mama dengan lembut. Kirana kembali menggangguk dan melangkah pergi menuju kamarnya. Semua mata mengikuti langkah Kirana, Galih yang daritadi diam mengucap sabar tanpa suara pada Kirana yang sempat melewatinya.

Next

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part 2 - Healing Time

Produktif

Review Makanan - Special Malang