Part 1 - Patah Hati Pertama
Suara
klakson terdengar dari berbagai penjuru jalan, baik dari arah berlawanan maupun
arah yang sama yang sedang dilewati Nadine. Seakan suara itu membisu, Nadine
yang biasanya akan mengomel sepanjang jalan justru hanya menatap jalan dalam
diam. Pandangan matanya seakan kosong, pikirannya sudah melayang menjauh dari
tempat dia berada sekarang. Suara klakson yang panjang kemudian membawa Nadine
kembali dalam kesadaran. Di depannya, kemacetan sudah mulai terurai dan
mobilnya malah tidak kunjung melaju. Sebelum klakson itu makin panjang, Nadine
segera menekan pedal gas mobilnya dalam.
Tidak
kunjung turun, Nadine justru kembali berpandangan kosong saat sampai di
parkiran kantornya.
“Nad, mama mau ngomong.” Suara Mama terdengar
membelakangi Nadine. Kemudian Nadine segera menaruh smartphonenya dan berputar
agar bisa berpandangan dengan Mama.
“Mama liat kamu sama Anto udah lama ya
pacarannya. Udah berapa lama?” tanya Mama.
“Hampir mau enam tahun kali ya Ma, kenapa?”
Nadine menjawab pertanyaan Mama dengan tenang.
“Anto emang jarang ya mau mampir ke rumah?”
suara Mama mulai merendah.
“Beberapa kali pas aku ajak Anto ke rumah, dia
emang lagi ada kesibukan lain Ma. Bukan dia kok yang nunda-nunda atau sengaja
biar nggak dateng.” Jawab Nadine dengan suara yang juga rendah. Nyatanya,
masalah ini memang sudah sering Nadine dan Anto bicarakan. Entah sengaja atau
kebetulan, setiap Nadine meminta Anto mampir ke rumah sekadar berkunjung, Anto
selalu sibuk.
“Nad, Mama tau sih, kamu juga kerja belum lama.
Tapi menurut Mama, dengan hubungan kamu yang udah lama sama Anto, kalian juga
udah sama-sama kerja, mau tunggu apa lagi sih? Mama sih pengennya kamu segera
serius sama dia.” Kata Mama, kemudian setelah menghela napas sebentar, Mama
kembali berbicara, “kamu kan tau Nad, sebelum Papa meninggal juga pesennya
pengen segera kamu menikah. Biar kamu ada yang jagain. Biar Papa bisa tenang
ninggalin kamu di sini. Mama bukannya nggak mau jagain kamu lagi, Mama juga mau kamu menemukan tempatmu berlabuh.”
Mata Nadine memandang jauh, “aku nanti coba
obrolin ini sama Anto ya Ma. Aku tau kok, Mama cuma pengen Papa di sana tenang.
Mama cuma mau mastiin aku nggak lupa sama pesan Papa kan?”
“Iya Nad, makasih ya kamu udah mau ngerti.”
Kata Mama kemudian sambil memeluk anak sulungnya.
Dua hari kemudian, Nadine bertemu dengan Anto. Makan
siang mereka tersisa hampir setengah saat Nadine memulai membuka obrolan
tentang permintaan Mama kemarin.
“To, Mama nanyain kamu tuh, katanya kapan mau
mampir? Kemarin juga Anin nanyain mas Anto.” Sahut Nadine sambil mencocol saos
sambal untuk kentang gorengnya.
“Hahaha mana ada Anin nanyain aku. Yang ada mah
dia nanyain kapan aku beliin dia sepatu baru lagi.” Jawab Anto geli.
“Ya ampun, kalo dia masih ngerengek minta
sepatu ke kamu mah parah. Aku omelin nanti haha.”
“Emang Mama nanyain gimana?” tanya Anto.
“Sebenernya sih, Mama ngingetin soal pesan
Papa.” Kata Nadine lirih.
“Pesan Papa? Maksud kamu….”
“Iya, yang itu To. Nikah.”
“Nad, kamu kan tau aku sekarang masih fokus
sama karier aku. Aku kan ini baru merintis di kantor yang sekarang, baru
setahun loh aku di sini.”
“Emang kalo nikah, kamu nggak bisa fokus karier
ya?”
“Nad, dengan kita pacaran aja, kamu masih suka
ngedumel pas weekend aku harus tetep kerjain kerjaan aku. Atau aku harus pergi
ke luar kota. Apalagi nanti kita udah tinggal serumah. Nggak kebayang kamu
ngomel tiap hari. I can’t deal with it, problem yang sebenernya bisa dihindari
dengan tidak menikah dalam waktu dekat.”
“Hah? Maksudnya? Aku ngedumel juga baru sebulan
ke belakang To. Kamu nyadar nggak sih kamu makin workaholic?”
“Ya emang salah kalo aku workaholic?”
“Nggak To, tapi kamu kaya nggak punya hidup
selain kerja.”
“Udah lah Nad, aku nggak bisa kayak gini. Aku
tau kamu tuh nggak suka aku berkembang kan? Kamu maunya aku kayak dulu waktu
kuliah yang nggak bisa apa-apa, yang bisa kamu setir semau kamu.”
“Hah? Setir gimana sih To?”
“Aku tau Nad, kamu maunya tetep jadi yang
dominan dalam hubungan ini kan?”
“To, kamu kok jadi playing victim gini? Kan aku
juga nanya baik-baik To. Kalo emang kamu nggak bisa fokus karier dengan nikah
sama aku karena aku katanya ngedumel mulu karena kamu sibuk akhir-akhir ini,
yaudah aku mau introspeksi diri…..”
“Nggak, nggak perlu Nad. Aku udah capek dan aku
udah tau akhirnya bakal kayak gini kok, kamu sampai kapanpun juga bakal kayak
gini.”
“To? Serius? Aku….”
“Maafin aku ya Nad, kalo kamu emang mau segera
nikah, bukan sama aku Nad. Aku belum mau nikah, apalagi kalo sampe nikah bikin
karierku berantakan.” Saat itu juga Anto memundurkan kursinya, kemudian pergi meninggalkan
Nadine yang masih belum sadar apa yang sebenarnya terjadi.
Nadine
tersadar beberapa saat setelah pintu kaca mobilnya diketuk. Seorang lelaki, si
pengetuk kaca, nyengir kemudian setelah Nadine menoleh ke arahnya. Nadine
akhirnya meraih tas tangannya di kursi penumpang di sebelahnya, merapikan
rambutnya dan turun dari mobilnya.
“Gue kira,
gue salah liat. Taunya beneran masih ada orangnya toooh.” Sahut Jeremy, si
lelaki tadi.
“Haha
untung lo ngetuk kaca gue. Udah ah yuk masuk.” Nadine menanggapi.
Memasuki
lobby kantor, Jeremy kembali memastikan teman di sebelahnya. Tidak salah lihat,
meskipun Nadine sudah mengoleskan concealer, sudah sangat jelas matanya memang
sembap. Kenapa lagi nih ini cewek?
Tidak berani bertanya, Jeremy hanya berpura-pura semua baik-baik saja. Lagipula
masih pagi, pertanyaan itu pasti akan membuat Nadine kembali menatap kosong
seperti Nadine yang dia temukan pagi ini.
Jeremy
bukan teman baru untuk Nadine. Sudah sejak semester pertama, Nadine dan Jeremy
berteman baik. Bahkan Jeremy jugalah yang jadi saksi hidup kehidupan percintaan
Nadine dan Anto. Jeremy tau, kemungkinan besar tatapan kosong Nadine karena
Anto. Beberapa bulan ke belakang, hubungan dua temannya ini memang agak kurang
baik. Bahkan mungkin keadaan tidak baik itu sudah dimulai saat Nadine lulus
terlebih dulu dibandingkan Anto. Anto yang sering diremehkan teman-temannya
merasa Nadine juga ikut meremehkannya. Apalagi dengan mudahnya, Nadine yang
masih fresh graduate langsung lolos interview dan kemudian menjadi staff di
perusahaan multinasional yang sekarang juga menjadi kantor Jeremy.
Memasuki
kubikelnya, Nadine segera menyalakan PCnya. Belum lama dia duduk, teleponnya
berbunyi dan tertulis satu nama di layar, Mama. Bukannya segera menerima
telepon itu seperti yang biasa dia lakukan, Nadine malah mematikan smartphonenya. Sejak pertemuan
terakhirnya dengan Anto, Nadine memang memilih tidak pulang ke rumah. Dia
justru ikut menginap di apartemen Rissa, sahabat kecilnya. Nadine tidak bisa
pulang dan menangis di depan mamanya. Mama tidak boleh tau kalau pembicaraan
“Anto yang disuruh mampir ke rumah” berakhir dengan sangat buruk. Meski
sebenarnya Nadine sudah pernah membayangkan akhir seperti ini, dia tidak tau
ternyata hatinya akan sesakit ini.
Lima belas
menit sebelum waktu istirahat, Mbak Hana menghampiri Nadine. Katanya, ada
seseorang yang menunggunya di resepsionis. Nadine yang memang sudah selesai
dengan tumpukan berkas di hadapannya, kemudian bergegas menuju resepsionis.
Seseorang yang menungguinya berdiri memunggui, tapi Nadine kenal betul siapa
yang sedang berdiri di sana, Anin adiknya.
“Kak Adin.”
Anin langsung memanggilnya sesaat setelah mereka sampai di taman belakang
kantor Nadine. Tidak lama, Anin kemudian menghambur ke pelukan kakaknya.
Tanpa
sadar, air mata yang tertahan hampir seminggu tumpah juga. Nadine langsung
sesenggukan dalam pelukan adiknya.
“Kak, lo
tuh kenapa sih pake nggak pulang segala? Cowok brengsek kaya gitu nggak perlu
ditangisin kak.” Sahut Anin dengan suara bergetar sambil menepuk-nepuk sisi belakang
Nadine.
Anindya masih membantu Mamanya membuat adonan
kue saat suara deru mobil terdengar memasuki halaman rumahnya. Mobil Mas Anto
terlihat terparkir, “oh ternyata mas Anto ya.” Anin berbicara dalam hati.
“Ma, ada Mas Anto di luar!” teriak Anin disusul
teriakan Mamanya yang ada di kamar mandi.
Sebelum Anto mengetuk, pintu di hadapannya
sudah terbuka dengan senyuman Anin menyambut kedatangan Anto. Yang disenyumi
justru kikuk karena rasa bersalah.
“Masuk Mas. Gue kira lo sama Kak Nadine.” Kata
Anin. “Anin, nggak sopan ih kamu malah pake gue-gue ke Mas Anto.” Sahut Mama
yang tiba-tiba juga sudah bergabung di ruang tamu.
Lagi-lagi Anto hanya kikuk dan kembali berubah
posisi duduk.
“Gimana kabarnya Anto? Mau minum apa? Biar Anin
tuh yang bikinin.” Sapa Mama ramah kepada Anto.
“Baik kok. Oh, nggak usah Tante, saya cepet aja
kok.” Jawab Anto.
“Ih kamu ya, masih sungkan aja. Teh aja ya?”
Mama masih bersikeras menawarkan.
“Beneran Tante, nggak usah. Saya ke sini mau
ngomong sebentar aja kok.” Suara Anto lirih.
“Oh, alhamdulillah kemarin Nadine udah sempet
ngajak ngobrol ya? Tante seneng loh kamu mampir juga, ya walaupun pas kamu
mampir, Nadinenya malah lagi tugas ke luar kota. Udah nggak pulang dari dua
hari lalu dia.” Cerita Mama panjang lebar.
“Tante, saya nggak bisa nikah sama Nadine.”
Sahut Anto cepat.
“Apa?” Anin justru yang menanggapi terlebih
dulu, Mama malah terlihat bingung. ”To, maksudnya gimana? Kalian kan sudah lama
pacaran, kok malah jadi nggak bisa nikah?” Mama angkat bicara, setelah
pertanyaan retoris Anin tidak kunjung dijawab Anto.
“Tante mungkin sudah tau kalo saya telat lulus.
Saya baru lulus hampir dua tahun setelah Nadine lulus. Jadi saya juga baru
kerja setahun ini. Saya masih mau fokus sama kerjaan saya Tante. Saya nggak
bisa kalo akhirnya menikah dan bikin saya keteteran sama kerjaan.”
“Bukannya selama ini justru kalian bisa saling
support ya? Kok malah nikah bikin keteteran To?”
“Saling support? Tante nggak tau aja kalo
Nadine sering marah-marah sendiri kalo saya kerja lembur.” Anto menghela napas
sebentar, “saya minta maaf kalo bikin Nadine dan keluarga kecewa, tapi ini
keputusan saya Tante. Saya pamit ya Tante.” Tanpa menunggu izin dari empunya
rumah, Anto melenggang pergi.
“Tau dari
mana lo?” tanya Nadine setelah tangisannya mereda.
“Tadi pagi
dia ke rumah.” Jawab Anin masih sambil memegangi tangan kakaknya.
“Ngomong
apa dia?” Nadine penasaran, apa yang Anto katakan ke keluarganya.
“Dia nggak
bisa nikahin karena katanya bakal ngehambat karier dia. Kata dia, lo bahkan
bisanya cuma marahin dia pas lagi lembur. Brengsek banget. Tuh kan kak, gue
bilang juga apa. Harusnya lo tinggalin dia sejak lo lulus kuliah!” Anin
berapi-api.
“Udah lah
dek, nggak ada yang bisa diulang lagi juga waktunya. Gue mungkin salah pake
marah-marah ke dia di saat dia butuh support.”
“Dia tuh
cuma iri kak karena lo udah lulus duluan, kerja duluan, perusahaan bonafid
pula.”
“Nin, nggak
usah dibahas ya. Nanti gue pulang ke rumah, lo tenangin Mama dulu di rumah
sebelum gue pulang ya. Lo nggak ada kuliah kan hari ini?”
“Kalopun
ada, gue akan nemenin Mama dulu sih. Yaudah lo beneran pulang, jangan kabur
lagi lo.”
“Iya Nin.
Makasih ya, adek gue udah gede ternyata.” Nadine kemudian memeluk adik semata
wayangnya lagi sebelum mereka berpisah.
Komentar