Part 2 - Healing Time
Malam itu akhirnya Nadine memberanikan diri
untuk pulang ke rumah. Mama sedang menyiapkan makan malam saat Nadine sampai di
rumah. Nadine kemudian memeluk Mamanya dan berkata maaf dengan lirih.
“Maaf ya Ma, maafin Nadine.”
Mama segera menghentikan aktivitas memasaknya
dan berfokus pada putri sulungnya. Melihat mata cekung dan sembab milik Nadine,
Mama tau benar, anaknya tidak cukup tidur dan sudah cukup menangis beberapa
hari ini.
“Kamu tuh nggak salah, ngapain coba minta maaf?”
Kata Mama lembut.
“Aku belum bisa wujudin pesan terakhir Papa.
Aku masih nyusahin Mama, aku....” tangis Nadine luruh. Mama kemudian mempererat
pelukannya.
“Nggak ada dalam pikiran Mama, Nad yang salah.
Kamu juga nggak pernah sekalipun nyusahin Mama. Mama minta maaf, kamu harus
ngalamin hal ini. Tapi inget Nad, mungkin ini cara Tuhan buat ngejauhin kamu
dari orang jahat.” Mama menghela napas sesaat, “Mama nggak pernah nyangka Anto
begitu, sampai tadi pagi, Mama masih anggep dia orang baik. Mama bersyukur
walaupun kamu harus sakit kaya gini, kamu udah dikasih liat dari awal gimana
dia yang sebenernya. Mama nggak bisa bayangin kalo kamu beneran menikah sama
dia.”
Perlahan Nadine melepas pelukannya, mengusap
bekas air matanya kemudian tersenyum.
“Makasih ya Ma, Mama bener. Aku beruntung udah
tau ini dari awal. Setidaknya, aku nggak harus habisin bertahun-tahun ke depan
lagi sama orang kaya gitu.”
“Take your time to heal your heart Nad. Tapi
kamu nggak bisa terus-terusan terpuruk, oke?”
“Siap Ma! Sini aku bantuin masaknya.”
“Bersihin dulu tuh eyelinernya, meleber ke
mana-mana.”
“Hahaha Mama mah. Ini waterproof tau.”
Nadine dan Mama kemudian hanyut dalam candaan
ibu dan anak yang hangat. Berbeda dengan beberapa menit lalu, kebahagiaan
kembali menyelimuti dapur keluarga Baskara malam itu.
Pagi itu, suasana
kampus Universitas Gadjah Mada agak riuh. Hiruk-pikuk mahasiswa yang akan
diwisuda memenuhi latar Grha Sabha Pranama. Berdiri pula di sana, Nadine,
Jeremy, Mama, Papa, dan Anin. Raut wajah mereka bahagia, meski terlihat sedikit
raut kecewa di wajah Nadine. Seseorang yang dia tunggu masih belum menampakan
batang hidungnya. Padahal sebentar lagi sudah waktunya dia masuk dan melalui prosesi wisuda hingga siang
nanti.
“Udah kak, lo masuk
barisan dulu deh. Ntar juga dia dateng, gue langsung chat kalo dia udah dateng
ya.” Kata Anin, mencoba menenangkan kakaknya.
Nadine hanya menurut,
kemudian berjalan bersama Jeremy menuju barisan wisudawan-wisudawati yang akan
masuk ke GSP.
“Emang dia nggak
bilang apa-apa semalem Nad?” Tanya Jeremy kemudian, setelah mereka sudah masuk
ke dalam gedung.
“Hah? Oh, Anto?
Semalem pas gue mastiin dia dateng, dia nggak bales chat gue.” Jawab Nadine.
“Berantem lagi lo?”
Tanya Jeremy. Jeremy tau, bahkan sesaat setelah Nadine keluar dari ruang
sidangnya waktu itu, Anto malah menyambut Nadine dengan muka masam. Yang
akhirnya membuat mereka bertengkar tidak jauh dari ruang sidang.
“Nggak tau juga gue
sebenernya masalahnya apa, tapi ya gitu like I told you before, dia lagi sensi
parah sejak gue mau sidang akhir.” Keluh Nadine.
“Gue yang denger
cerita dari lo aja capek sama dramanya Nad.” Canda Jeremy.
“Hahaha yaudah lah,
mungkin lagi banyak pikiran aja kali ya.” Sahut Nadine yang dibalas dengan
anggukan dan oke tanpa suara dari Jeremy.
Sayangnya sampai akhir
prosesi wisuda, Nadine tidak menerima chat dari Anin yang artinya Anto masih
belum datang atau mungkin memang tidak akan datang.
Memasuki waktu makan siang, Kedai Dato’ Halim
memang selalu ramai. Menu masakan padang yang pedas rasanya tepat untuk mengisi
perut di musim hujan yang dingin. Pilihan itu juga yang diambil oleh Jeremy,
Nadine, dan Mirae yang sudah menghabiskan 10 menitnya di kedai Dato’. Makanan
mereka sudah hampir setengah, tapi sepertinya mereka akan memesan minuman atau dessert agar bisa berlama-lama di sana.
Siang itu juga, bersamaan dengan menu rendang yang mereka nikmati, Jeremy dan
Mirae mendengarkan cerita Nadine dengan hikmat.
“Anjir, brengsek amat sih tuh cowok. Bener sih
kata nyokap lo, lo beruntung loh tau duluan kalo cowok ini nggak beres.” Marah Mirae.
Wajahnya merah, entah karena merasa pedas dengan bumbu rendang atau memang akibat
marah dengan Anto.
“Pantesan lo uring-uringan dari
kemarin-kemarin. Terus gimana, lo udah oke kan?” tanya Jeremy.
“I think
I am. Gue masih proses healing sih.
Walopun dalem hati masih brengsek-brengsekin dia, tapi gue juga mulai bisa
nerima lah.” kata Nadine.
“Normal kok kalo lo kesel, normal banget kalo
lo ngomong kasar kalo lagi ngomongin dia. Gue aja yang sesama laki-laki nggak
habis pikir sama cara pikir dia Nad.” Jeremy mengambil kerupuk di depannya, “kalo
waktu kalian ketemu kemarin ada gue, udah gue pastiin dia abis gue pukulin. Gue
kesel banget asli Nad.”
“Udahan ah bahas cowok brengseknya, lo harus
jadi single happy sekarang! Ayo manicure pulang
kerja nanti!” ajak Mirae dengan semangat. Nadine langsung berbinar-binar dan
menjawab ajakan itu dengan semangat. Berbeda dengan Jeremy yang hanya
menanggapi dengan rolling eyes-nya
yang menyebalkan sambil bergumam “Hhh,
dasar cewek. Gampang amat kedistractnya.”
"Kak, lo nggak pernah kepikiran buat putus sama Anto terus jadian sama Bang Jer?" tanya Anin tiba-tiba sore itu.
Nadine yang sedang minum saat itu langsung terbatuk dan sedikit menyemburkan minumannya membuat Anin mengeluh jijik sekaligus tertawa terbahak.
"Apaan sih lo, aneh-aneh aja nanyanya." Nadine akhirnya menanggapi setelah mengelap bekas semburannya.
"Yaa dibanding Anto, gue sih kayanya akan lebih suka lo sama Bang Jer," Anin menerawang, "waktu Papa meninggal bahkan yang stay di rumah ini nemenin lo ya si Bang Jer."
"Itu kan karena Antonya lagi sibuk Nin, lo mah aneh-aneh. Udah ah." Nadine mencoba menghindar dengan menundukan kepalanya, fokus pada smartphone di tangannya.
"Sibuk kok tiap lo butuh. Halah." cibir Anin, disusul dengan jeweran sayang di telinga oleh Nadine.
To be continue
Komentar