Part 2 - Tiga Tahun Kemudian
Kirana berjalan di koridor kampus
dengan langkah tergesa. Di sampingnya, seorang pria juga mengikuti langkahnya. Keduanya
memasang wajah serius seperti dikejar-kejar sesuatu atau mengejar-ngejar
sesuatu. Pria dengan rambut gondrong di sebelah Kirana adalah Naga. Teman sepenanggungan
di Public Relations yang memang
selalu setia ada di samping Kirana sejak semester satu Kirana kuliah di sini.
Di ujung lorong, kemudian keduanya berbelok menuju kelas P31. Ternyata keduanya
terlambat masuk kelas. Pak Bowo yang terkenal killer hanya melihat keduanya dari bawah ke atas saat keduanya
mengetuk pintu dan meminta izin masuk.
“Kalian…. memang masuk kelas ini?”
Tanya Pak Bowo. Seketika kelas sunyi dan Kirana serta Naga hanya saling adu
pandang.
Naga kemudian angkat bicara, “Betul
Pak,saya Naga dan ini Kirana mahasiswa kelas Bapak.”
“Saya kira kalian sudah tahu apa
konsekuensinya jika terlambat masuk kelas saya.”
Terdengar Kirana menelan ludah. Mampus! Kirana dalam hati.
“Sudah Pak, tapi kami terlambat
juga ada alasannya Pak. Dan kami harap Bapak memaklumi alasan kami.” Naga
dengan tenang membalas.
“Oh, begitu ya… Ok, lemme hear
your reason.”
Mampus dua kali! Kirana kembali di dalam hati. Dia tahu betul,
kalau Pak Bowo sudah mulai casciscus dengan bahasa Inggris artinya Pak Bowo
sudah tidak bisa dirayu lagi.
“Kami di kelas sebelumnya mendapat
tugas untuk mengumpulkan tugas teman-teman di gedung R. Tapi setelah kami
menuju ke sana, dosen pengampu tugas tersebut meminta kami menuju parkiran saja
yang kebetulan ada di basement. Kami
sudah menginformasikan jika kami ada kelas dengan Bapak dan takut jika kami ke
parkiran maka kami terlambat masuk kelas. Tapi dosen tersebut juga tetap minta
diantar tugasnya ke parkiran Pak.”
Pak Bowo terlihat berpikir. Ya Tuhan, tolong gue! Kirana dalam hati
memohon.
Tidak dinyana Pak Bowo tersenyum.
Iya, benar-benar tersenyum!
“I see, ok kamu berdua boleh masuk
kelas saya. Lagipula saya baru masuk beberapa menit yang lalu dan baru selesai
mengabsen.”
“Terima
kasih Pak.” Sahut Kirana dan Naga bersamaan. Kemudian keduanya segera
menghambur menuju tempat duduknya masing-masing.
Bandung di malam hari, apalagi di
musim penghujan memang menjadi tempat ternyaman untuk tidur. Tapi tidak untuk
Kirana dan Naga. Keduanya dengan cerah ceria justru sedang mengemudikan
mobilnya menuju Bukit Moko, salah satu puncak yang ada di Bandung. Keduanya bernyanyi
mengikuti lagu yang sedang diputar di music
player sambil sesekali menggumam jika tidak tahu lirik lagunya.
“Gue ntar mau nggak tidur ah nyampe
sana. Mau bikin api unggun sambil liatin bintang sekalian nunggu pagi buat liat
sunrise deeeh.” Kirana membuka
percakapan. Tangannya terlihat sibuk membuka jajanan yang tadi telah dibeli di
minimarket SPBU.
“Gue paling tau kali kalo lo itu
pelor. Nempel molor.” Tandas Naga dengan sinis.
“Hih, lo mah,” Kirana mengajukan
jajanan yang telah dibukanya ke samping tangan Naga yang masih sibuk menyetir, “Lo
mau nggak nih?”
“Suapin dong, lo nggak liat apa tangan
gue sibuk nyetir?”
“Ye yang gue liat mah ya tangan lo
satunya juga masih bisa kalo sekadar buat ambil jajan. Kalo nggak mau yaudah
sih.” Kirana menarik kembali jajannya.
Naga hanya tersenyum, Na, lo bisa nggak sih nggak bikin gue gemes.
“Na, lo udah bawa semua
perlengkapan kan?” Naga mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Apa sok sebutin.”
“Tenda, kayu, korek, kompor, gas,
persediaan makanan, persediaan minuman, lotion nyamuk, gitar, terus….”
“Check semua, tambahannya ada
bantal sama selimut. Hehehe. Gue nggak bisa tidur kalo di bawah kepala gue
nggak ada bantal dan ofc di atas sana pasti dingin, so gue berinisiatif bawa
selimut.”
“Gini nih, sok-sokannya ngajakin
gue manjat gunung mulu tapi masa mau manjat bawa bantal sih Na….”
“Syuuuut.
Diem lo.” Kirana hanya cekikikan sendiri dan tanpa disadarinya Naga juga ikut
tersenyum melihat Kirana.
Bukit Moko malam itu mendung. Ya,
sudah bisa diprediksi sih karena semenjak dalam perjalanan. Kirana dan Naga
ditemani derasnya hujan. Kalau sudah begini, Kirana hanya bisa sabar karena
tidak bisa melihat bintang sambil berapi unggun. Untungnya, Naga yang tahu
bahwa Kirana kecewa segera mengambil gitar dan memainkan salah satu lagu
kesukaan Kirana.
Sweet creature, sweet creature
Wherever I go, you bring me home
Sweet creature, sweet creature
When I run out of rope, you bring me home
Sweet creature
We’re running through the garden,
Oh, where nothing bothered us
But we’re still young
I always think about you
And how we don’t speak enough
“Naga maaah bisaan emang the best lah.” Kirana hanya bisa
tersenyum setelah mendengar sahabatnya mengakhiri lagu kesukaannya.
“Ya abis lo mah, kan ngeliat
bintang cuma satu dari sekian banyak plan
yang mau kita lakuin di sini. Jadi nggak usah lah muka ditekuk begitu.”
“Iya, gue cuma……” Naga yang sedang
mengamati Kirana yang ditempa cahaya api unggun segera menyadari air mata
Kirana yang tengah melewati pipinya.
“Na, udah lah. Udah lama loh Na,
masa lo masih gini-gini aja.”
“Masalahnya Ga, gue nggak pernah
tahu apa salah gue. Salah satu alasan gue masuk kampus ini juga karena dia. Tapi
nyatanya?”
Naga mendekat kemudia mengelap
pelan air mata Kirana. “Na, kalo lo sepenasaran itu alasan dia, besok gue
temenin lo ke dia. Lagian, hampir tiap hari dari awal kita kuliah di sini, lo
liat dia di depan mata lo. Tapi lo malah pergi, menghindar.”
“Ya, gue masih nggak sanggup aja. Di
saat dia kelihatannya udah nyaman sama dunia dia sekarang, gue malah masih
kebayang-bayang sama dia.”
“Nah itu lo tau, berarti lo juga
bisa dong nyaman sama dunia lo sekarang? Lagipula, lo pasti taulah gosip-gosip
dari fakultas dia.”
Next
Komentar