Part 5 - Kemudian Kembali
Kirana masih tidur-tiduran setelah akhirnya bisa menemui
kasur empuknya. Terdengar suara notifikasi tanda chat masuk. Kirana yang malas untuk mengambil smartphonenya, hanya membiarkan dan kemudian memejamkan mata untuk
memasuki alam mimpi. Malamnya, setelah matanya kembali segar, Kirana mulai
mengecek notifikasi di smartphonenya.
Satu pesan yang masuk sejak tadi sore berhasil membuat Kirana berhenti bernapas
sejenak. Dari Bayu, mantan kekasihnya yang memutuskannya hampir tiga tahun yang
lalu.
Kirana masih merapalkan dalam hatinya bahwa Bayu adalah masa
lalu dan sudah tidak perlu lagi dipikirkannya. Tapi, ada secuil hatinya yang
tidak setuju dan bersikeras untuk memaksanya menemui Bayu. Malam yang masih
panjang itu, dihabiskan Kirana untuk memilah-milih apa yang harus dilakukannya
besok. Tanpa sadar dalam lamunannya Kirana menekan tombol call pada nama Nagasaki.
“Halo, Na.” sapa suara di seberang. Kirana kaget dan segera
melihat layar smartphone. Gue kenapa jadi telepon Naga sih, Kirana
dalam hati.
“Na,lo kenapa?” Naga mengulangi sapaannya. Nampaknya Naga
khawatir karena Kirana tidak kunjung menjawab.
Desahan napas terdengar dari ujung telepon Naga. “Iya Ga,
gue nggak papa kok. Tau nih, gue juga bingung kok telepon lo ya?” Tanya Kirana,
lebih ke dirinya sendiri.
“Yee lo mah. Kenapa sih Na? Gue tau deh kalo lo begini pasti
ada masalah.”
“Masalah ya? Gue nggak tau sih Ga, ini masalah atau bukan.
Tapi Bayu…..” suara Kirana menggantung. Naga yang saat itu sedang minum di
rumahnya, menghentikan aktivitasnya seketika setelah mendengar nama Bayu
diucapkan Kirana.
“Kenapa si Bayu lagi? Lo tiba-tiba keinget dia?”
“Nggak, orang gue juga baru bangun tidur ini. Cuma gue tadi
liat Bayu ngechat gue lagi, Ga. Dia
minta ketemu secepatnya. I don’t know
what will he did, but I can’t meet him yet.”
“Yaudah, lo nggak usah lah waro dia. Toh dia juga ngapain tiba-tiba minta ketemu.” Suara Naga
terdengar emosi di telinga Kirana.
“Gue pikir, mungkin dia mau nyelesein masalah yang dulu.”
“Ya ampun, Na. Listen
to me. Lo dan dia nggak ada lagi masalah. Masalahnya udah selesai sejak
tiga tahun yang lalu, oke maksud gue hampir tiga tahun yang lalu. Lo udah nggak
perlu lagi ketemu dia lagi. Dia masa lalu, Na. For serious, you should hear me.”
“Gue tau Ga. Iya, dia masa lalu gue. Tapi……”
“Kenapa?”
“Nggak tau Ga, rasanya gue kangen sama dia. Gue pengen liat
dia lagi, pengen ngobrol sama dia lagi. Gue…. masih sayang sama dia.” Naga
terdiam di ujung telepon. Dia tidak habis pikir, Kirana yang hampir tiga tahun
sudah diputuskan sepihak dengan alasan nonsense
dengan entengnya berpikir dia masih sayang sama Bayu, si playboy itu. Naga
menghela napas. Gue nggak boleh emosi,
Naga mengelus dada.
“Udah hampir tiga tahun Na. Udah hampir tiga tahun, lo sama
dia pisah. Gue tau pasti, banyakan sakit yang lo rasain kalo inget dia,
dibandingkan senengnya. Lo udah di sini, di masa sekarang. Nggak usah lah
dibayangin sama masa lalu lo terus.”
“Ga, gue… gue perlu mikir lagi. Entah mikirin apa, but I need my time.”
“Oke, Na. Yaudah, gue matiin ya teleponnya. See you on monday.”
“See you Ga. Thank you."
Dewi hanya bisa bengong melihat
adiknya bolak-balik di ruang keluarga. Galih yang ada di sebelahnya juga hanya
menatap sesekali ke adik iparnya, kemudian tetap fokus dengan olesan pada
rotinya. Galih dan Dewi beradu pandang, memaksa satu sama lain untuk mulai
membuka suara. Tentunya untuk menanyai Kirana yang seperti setrika. Akhirnya
Galih mengalah setelah mendapat tatapan tajam dari istri tercintanya.
“Ran, ngapain sih? Bolak-balik
aja, gue pusing tau ngeliatnya.”
Kirana yang kaget dengan suara
kak Galih, akhirnya memilih berhenti dari kegiatan bolak-baliknya dan duduk di
kursi ruang makan. Dia mengambil segelas air dan meneguknya dengan cepat.
“Aku…. nggak papa kok.” Kata
Kirana setelah tenggorokannya berhasil dibasahi.
“Dih, gue nggak nanyain soal lo
kenapa kali.” Kak Galih terkekeh geli. Dewi yang kesal juga dengan suaminya
yang tidak bisa serius akhirnya angkat bicara.
“Ran, kamu kalo ada masalah tuh
bilang sama kakak. Kan di sini kamu juga cuma ada kita.”
“Kak, kayanya aku pengen pulang
deh. Kangen sama mama papa.” Sahut Kirana tiba-tiba. Setelah pulang saat
liburan semester lima lalu, Kirana memang tidak pernah pulang lagi. Padahal
biasanya, hampir satu bulan sekali dia selalu pulang.
“Yaudah kalo gitu, besok emang
nggak ada kuliah?” Tanya kak Dewi. Sepertinya dia mulai paham jika Kirana
memang ada masalah dan Kirana memilih untuk tidak menceritakan itu kepadanya.
“Besok sebenarnya ada sih, tapi
aku juga belum pernah ambil jatah absen. Jadi bisa sih nggak berangkat dulu.
Nanti aku ke sini lagi hari rabu, soalnya ada kuliah lagi kamisnya.”
“Yaudah kalo sama kakak sih boleh-boleh
aja. Kamu mau naik apa?”
“Aku naik travel aja ya, kak.
Biar langsung dijemput di rumah. Kak Dewi bisa pesenin?”
“Gue aja yang mesenin, Ran. Lo
siap-siap gih sono. Yang pukul delapan kan?”
“Iya, kak. Makasih kakak iparku.
Hehehe.”
Mobil travel yang memiliki 12
belas kursi itu hampir penuh saat tiba di depan rumah Dewi. Setelah berpamitan
dengan Dewi dan Galih, Kirana segera masuk ke dalam mobil dan duduk di jok
belakang sopir. Mantap kak Galih tau
banget spot terenak favorit aku nih, Kirana dalam hati. Ternyata Kirana
adalah penumpang terakhir yang dijemput travel tersebut, segera setelah
meninggalkan perumahan Kencana Biru, mobil travel melaju menuju pintu tol.
Malam hari mulai menjelang dan
mobil travel yang dinaiki Kirana mulai memasuki kota di mana Kirana tinggal.
Kirana tersenyum cerah meski di depannya macet akibat lalu lalang angkutan umum
yang masuk-keluar dari terminal Mangkang, Semarang. Sekitar 20 menit lagi,
Kirana akan segera sampai di rumah orang tuanya. Smartphone yang dari Bandung
tadi dimatikan, kembali dinyalakan Kirana. Beberapa pesan masuk dan menimbulkan
ringtone bersahut-sahutan. Salah satu
yang membuat Kirana tersenyum adalah pesan dari Naga. Ternyata satu jam setelah
Kirana naik travel tadi, Naga ke rumah kak Dewi untuk menemui Kirana. Nyatanya,
Naga malah mendapat kabar bahwa Kirana sudah dalam perjalanan pulang ke
Semarang. Akhirnya dalam pesannya, Naga menumpahkan kekesalannya karena Kirana
pergi tanpa bilang apa-apa pada Naga. Ntar
gue telepon dia deh kalo udah nyampe rumah.
Rumah Kirana masih sama seperti
empat bulan yang lalu saat Kirana pulang. Hanya saja, bunga-bunga kesayangan
mama sudah mulai tumbuh dan membuat rumah semakin terlihat cerah. Setelah
memasuki pagar rumahnya yang berwarna hitam, Kirana kemudian mengetuk pelan
pintu rumahnya. Dia tidak ingin langsung masuk karena ingin memberikan surprise pada kedua orangtuanya.
“Yaaa, sebentar…” suara Asna,
mama Kirana terdengar dari dalam rumah.
“Ya ampun, anak mama…..” sambut
mama dengan girang setelah membuka pintu rumahnya dan menemukan anak bungsunya
ada di balik pintu itu. Kirana hanya menyengir dan memeluk Asna.
“Hehehehe, aku pulang ma.”
“Papa baru aja keluar beli
makan, bentar deh mama telepon dulu biar papa juga beliin makan buat kamu.”
Kata mama kemudian segera mengambil smartphone
dan terlihat menekan beberapa tombol di layar. “Kirana mandi dulu deh ya, Ma.”
Pamit Kirana disusul dengan anggukan sang mama.
Kirana sudah segar saat Papa dan
Mama sudah siap menunggu Kirana di meja makan. Papa hanya geleng-geleng kepala
melihat anaknya yang sudah kuliah ini, tiba-tiba ada di rumah.
“Mama tuh kaget tadi Pa, siapa
yang bertamu malem-malem begini kan. Taunya anak bungsu pulang.” Kata Mama
sambil tangannya yang terampil meletakkan piring berisi sate ayam di meja
makan.
“Gimana nak? Apik-apik to?” Ernan yang rambutnya sudah mulai memutih itu
kemudian mengambil satu tusuk sate dan melahapnya.
“Sae, Pa. Kirana kangen Papa sama Mama jadi pulang dadakan. Abis Papa sama Mama nggak mau
sih main-main ke Bandung.”
“Bukan nggak mau, Ran. Tapi tuh
Mama sama Papa kan sibuk ngurusin kerjaan.”
“Iya, Ma. Nanti deh kalo Ran
udah lulus, Ran balik ke Semarang biar nerusin hotel Mama Papa.”
“Tenanan loh ya Ran. Papa tuh seneng kalo usaha Papa bisa diturunkan
ke anak Papa sendiri. Ya sebenarnya pegawai kepercayaan Papa ada, kaya si
Nanang sama Ratih. Tapi Papa akan lebih tenang kalo ini hotel yang ngebawa kamu
Ran.”
“Siap Pa, pokoknya Papa sama
Mama tenang aja deh. Papa sama Mama, masa tuanya harus udah leyeh-leyeh aja.
Biar nanti gentian Ran yang bikin seneng Papa Mama. Oke?” Asna, sang Mama yang
kebetulan duduk di samping Kirana mengelus lembut rambut anak kesayangannya
itu. Meski Bandung-Semarang tidak sejauh itu, tapi Asna sangat bahagia melihat
anaknya kembali pulang hari ini.
“Kamu nggak kuliah to besok? Kok bisa pulang?” Tanya Mama penasaran.
“Hehehe, Ran ambil jatah absen
Ma. Nggak papa kan?” Papa dan Mama hanya mengangguk kemudian mereka bertiga
melanjutkan makan.
Sambil mengantuk, Kirana
mengambil smartphonenya. Dia ingat,
dia sudah berniat untuk menelepon Naga. Memberi kabar sekaligus menceritakan
keputusannya.
“Halo, Nagasakiiii…” Kirana
cengengesan. Di layar terlihat Naga menunjukkan muka busuknya.
“Apaan lo, ke Semarang nggak
bilang-bilang. Gue kan udah lama nggak ke Semarang.” Kata Naga masih cemberut.
“Iya maaf deh, gue juga ngide aja tadi. Eh dibolehin sama kak
Dewi dan kak Galih. Yaudah lo nyusul sini.”
“Males gue. Lagi bokek.”
“Yee dasar lo. Ga, gue mau
ngomong.” Kirana mengubah raut mukanya menjadi serius. Naga juga ikut mengubah
raut mukanya menjadi serius.
“Eh iya Na, gue juga mau
ngomong.”
“Lah, kenapa bebarengan deh. Lo
duluan deh Ga.”
“Nggak deh. Kan lo duluan yang
tadi bilang.”
“Yaudah. Gini Ga…..” suara
Kirana terdengar menggantung dan tidak meyakinkan. Naga juga mengerutkan dahi
tanda sedang mendengarkan Kirana dengan seksama. Kirana menelan ludah, kemudian
kembali angkat bicara. “Gue akhirnya bilang mau ketemu sama Bayu. Gue nggak
bisa bohongin perasaan gue Ga.”
Naga terdiam. Bibirnya terkatup
rapat-rapat. Padahal baru saja, Naga akan jujur dengan perasaan yang sudah dia
pendam dari dulu. Nyatanya, waktu tidak pernah tepat untuk Naga. Perasaan
Kirana memang hanya untuk Bayu, belum bisa untuk yang lainnya.
“Lo nggak setuju sama keputusan
gue nggak papa Ga, tapi gue mohon hargai keputusan gue ya. Gue tau betul kok
konsekuensinya. Tapi memang Bayu itu cinta pertama gue.” dan lo cinta pertama gue Na, Naga dalam hati.
“Yaudah Na, toh lo juga pasti
udah mikir lama banget buat dapetin keputusan ini kan?” Naga akhirnya angkat
bicara.
“Iya, gue semaleman mikirin ini
sih. Dan ya itu keputusan gue udah bulat. Nah, sekarang lo mau ngomong apa
deh?” Naga kaget, sudah tidak mungkin dia untuk meneruskan apa yang niatnya
tadi dia utarakan.
“Nggak papa, Na. Udah lupa gue.”
“Dih kok gitu sih, apaan sih?”
“Nggak, udah deh lo jangan
bawel. Mata lo udah merah tuh, sono tidur. Habis perjalanan jauh pasti capek ya
kan?” Kirana yang ditanya begitu malah tidak sengaja mengiyakan dengan menguap
lebar-lebar.
“Hehehehe, iya Ga. Yaudah gue
matiin ya, sampai ketemu di kampus hari kamis.”
“Oke. Salam buat om Ernan sama tante Asna ya.”
Next
Komentar