Kamu

Kamu melihat ke luar jendela sekali lagi. Masih sama, sepi seperti hari-hari yang lalu. Tidak ada bedanya kan? Tapi kamu bersikeras untuk memastikan. Kenanganmu masih sama, tentang dia dan lagi-lagi hanya dia. Padahal dia sudah jelas melupakanmu dan seharusnya kamupun begitu. Iya, aku sungguh tau kalo itu sudah pasti terjadi. Nyatanya, dia sudah mengunggah satu foto bersama orang lain yang dia panggil sayang dengan bangga. Sedangkan kamu, masih teronggok di satu ruangan itu. Berkilah ingin melakukan self quarantine selama 14 hari, padahal kamu sudah ada di dalam sana lebih dari 21 hari.

Hari-hari yang kamu lalui selalu indah dengannya, tapi kamu tidak sadar jiwa dan tubuhmu terluka. Ketika dia memanggilmu bodoh atau dungu karena kamu salah memberikan saran tentang baju yang harus dia beli. Ketika dia memukul tanganmu karena kamu memakan sebuah cookies yang tergeletak di mejanya. Ketika dia dengan sadar menyuruhmu segera pulang karena tanpa alasan dia muak melihatmu. Kamu merasa itu semua salahmu, padahal bukan. Tentu saja bukan, kenapa itu bisa salahmu jika ternyata memang dia yang bajingan?

Kamu selalu lupa bahwa seharusnya kamu jangan terlalu peduli dengannya. Seperti waktu itu, pagi-pagi sekali, kamu datang ke rumah kontrakannya di ujung timur Jakarta, yang berbatasan dengan kota Bekasi. Kamu mengetuk-ngetuk pintu rumah berwarna coklat itu. Pagi itu masih pukul enam, tapi kamu sudah ada di sana menunggu seseorang yang sebenarnya kamu rindu untuk membukakan pintunya untukmu. Lima menit, sepuluh menit, masih belum ada suara dari dalam. Kamu memilih duduk di kursi plastik yang tergeletak di teras. Sabar, itu kebiasanmu yang sesungguhnya aku benci. Kenapa kamu bisa sabar dengan bajingan macam dia? Tidakkah kamu ingat, semalam kamu dipukulinya hanya karena kamu terlambat menemuinya di lobby kantormu? Kamu ketuk lagi pintu itu, kali ini berbeda karena kamu mendengar suara langkah kaki dari dalam. Suara kunci yang diputar, kemudian kenop pintu yang dibuka membuatmu membetulkan letak ponimu. Menyambut lelaki yang rambutnya masih berantakan dengan mata merah. Dari sanapun menguar bau minuman keras yang kamu hafal, padahal tidak pernah kamu merasakannya.

Dia menarikmu ke dalam rumah kontrakannya. Mendudukanmu di sebuah sofa yang ada di ruang pertama rumah kontrakannya. Dia mendengus, suara dengusannya keras sekali. Tanganmu bergetar, kamu tau ini tidak berakhir baik. Padahal niatmu hanya menyiapkan sarapan untuknya, yang dia minta semalam setelah memukulmu. Dia mulai mencerocos panjang lebar sambil setengah berdiri di depanmu yang duduk, tangannya mulai mencengkeram tanganmu. Belum puas, dia kemudian menoyor kepalamu keras-keras sampai hampir mengenai armchair yang terbuat dari kayu sambil berkata kasar karena kamu mengganggunya tidur. Takut-takut, kamu meminta maaf dan mengingatkannya atas permintaannya semalam. Dia tertawa, seperti tidak terjadi apa-apa, dia kemudian berdiri dan menyuruhmu segera ke dapur. 

Masih aku ingat ketika pada akhirnya kamu menyerah pada keadaan. Tidak lagi memaksakan bahwa kamu yang punya kewajiban mengubahnya menjadi lebih manusia. Tidak lagi merasa bahwa kamu pantas menerima semua perlakuan bejatnya. Kamu datang kepadaku malam itu, dengan sebelah mata yang hampir tidak bisa membuka dan tangan yang tidak berhenti bergetar. Tangisan tidak bisa lagi keluar dari matamu, sepertinya bahkan air mata sudah enggan mampir ke pipimu. Kamu hanya terduduk di kursi rumahku sambil membisikkan kata yang menyiratkan betapa lelahnya dirimu. Aku tidak berdiam, sambil mengompres biru yang ada di matamu, aku menatapmu dan berterima kasih karena kamu akhirnya mengakhiri kisahmu dengannya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part 2 - Healing Time

Produktif

Review Makanan - Special Malang